JAKARTA, PEDOMANINDONESIA, – Fenomena sejumlah kafe dan restoran berhenti memutar musik karena khawatir wajib membayar royalti menuai perhatian publik. Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi B Sukamdani, menilai persoalan ini muncul karena aturan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta belum mengikuti perkembangan zaman, terutama di era digital.
Menurutnya, inti masalah terletak pada ketentuan yang menganggap semua musik yang diputar di ruang publik sebagai kegiatan komersial sehingga otomatis dikenakan royalti.
“Undang-undang itu memang nyangkut semua apapun yang diperdengarkan. Musik di tempat publik dianggap komersial. Nah, ini yang akhirnya jadi masalah,” ujar Hariyadi, Jumat (8/8).
Ia menilai aturan tersebut terlalu luas cakupannya dan menimbulkan kebingungan di kalangan pelaku usaha maupun masyarakat. Pernyataan salah satu komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang menyebut lagu “Indonesia Raya” juga harus membayar royalti, bahkan sempat memicu kehebohan.
“Itu kan public domain. Jadi lucu saja kalau ada yang bilang harus bayar. Pemahaman seperti ini yang harus dibenahi,” tambahnya.
Hariyadi menegaskan perlunya revisi UU Hak Cipta, khususnya terkait sistem pemungutan dan distribusi royalti. Saat ini, aturan masih mengacu pada sistem lama yang bersifat blanket, di mana semua pengguna musik dikenakan tarif merata tanpa memanfaatkan teknologi digital yang sebenarnya bisa menghitung royalti secara lebih presisi.